Ada kata yang melulu diulang dalam setiap
penjelasan profil Banda Neira: Iseng, nekat, kurang persiapan, tinggal
beda pulau, dan tak bakal ada yang dengar. Tanpa dilebih-lebihkan atau
dikurang-kurangi, memang seperti itulah adanya Banda Neira. Awalnya band
(keukeuh tak mau disebut duo) ini cuma proyek iseng belaka.
Iseng-iseng di sela-sela pulang kerja dan
kerja lagi kami bikin lagu. Lalu Rara yang tadinya tinggal di Jakarta
tiba-tiba pindah ke Bali. Sebelum berpisah kami nekat menyewa studio,
merekam empat lagu yang kami punya: Di Atas Kapal Kertas, Ke Entah
Berantah, Kau Keluhkan, dan Rindu (musikalisasi puisi Subagio
Sastrowardoyo).
Empat lagu itu kami rekam dalam enam jam. Di
beberapa bagian banyak yang ngaco, tapi cuek lah, kami pikir tak bakal
ada yang dengar juga. “Paling yang dengar keluarga Badudu dan anak-anak M
edia Parahyangan (MP). Keluargaku sih ga banyak nan, hahaha” kata Rara
suatu kali.
Oh iya, sekadar gambaran, keluarga Badudu itu
kalau dihitung dari kakek sampai cicit jumlahnya ada 43 orang. Anak MP
ya lumayan mungkin ada 40-an juga. Keluarga Rara ga terlalu besar, ada
Ibu, Bapa, dan adenya yang adalah musisi beneran yang super jenius.
Sisanya eyang-eyang, sepupu dan tante-oom yang kayanya ga gitu ngerti
dunia persoundcloud-an, tapi gapapa sih karena Rara punya Ibu yang tiap
pagi pasti ngeplay lagu anaknya. Haha.Ya setidak-tidaknya setelah kami
rekaman ada lah yang memencet tombol play di lagu Banda Neira nanti.
Kami berdua semula berpikir setelah rekaman
ya kami lanjut dengan kehidupan masing-masing. Dan Banda Neira, yaa,
susah juga ya sekarang tinggal beda pulau. Jadi sepertinya akan
dibiarkan saja setengah vakum, tapi kalau ada ide lagu ya boleh lah
dicoba.
Hasil rekaman iseng itu kemudian kami unggah
di soundcloud. Wow. Ternyata lumayan banyak juga yang dengar. Agak malu
karena kami pikir lagu-lagu itu freak semua.
Ada lagu tentang gadis kecil naik kapal
kertas , ada yang katanya rindu tapi menyayat seperti belati. Lalu
tersesat ke entah berantah yang menuai kritik karena salah dari segi
tata bahasa, seharusnya ke antah berantah. Dan terakhir ada surya yang
bicara pada manusia malam-malam. Dipikir-pikir surya mana yang muncul
malam-malam?
Singkat cerita dugaan awal kami soal
pendengar salah total. Ternyata, selain keluarga Badudu, keluarga Rara,
dan anak-anak Media Parahyangan, ada juga yang mendengarkan album di
Paruh Waktu Banda Neira.
Ekspektasi yang rendah -atau malah tidak ada
ekspektasi sama sekali- justru jadi keberuntungan bagi Banda Neira. Kami
jadi mudah sekali semangat. Kami masih tak bisa jelaskan bagaimana satu
cuit di twitter tentang Banda Neira bisa bikin semangat kerja
berhari-hari, dan yang lebih penting adalah semangat bikin lagu baru
lagi.
Kemudian kami sepakat meneruskan proyek iseng
ini. Tarafnya ditingkatkan sedikit dari iseng ke iseng tapi digarap
lumayan serius. Lagu-lagu Banda Neira mendadak jadi banyak. Agustus kami
punya empat lagu. Tiba-tiba Desember ada tambahan enam lagu baru. Dan
tanggal 26-27 Desember nanti, kami berencana merekam enam lagu itu untuk
full album Banda Neira.
Salam,
Banda Neira
Ananda Badudu dan Rara SekarDesember 2012
Mengapa bernama Banda Neira?
Banda Neira adalah nama pulau yang berada di Maluku, bagian Timur
Indonesia. Pada masa perjuangan kemerdekaan, beberapa pejuang dan bapak
penemu bangsa sempat dibuang oleh Belanda ke sana. Di antaranya Sjahrir
dan Hatta. Banyak cerita menarik yang ditulis Sjahrir tentang Banda
Neira. Dari catatan hariannya orang bisa tahu ia tak merasa seperti
orang buangan ketika diasingkan ke sana. Barangkali karena pulaunya luar
biasa indah dan masyarakatnya menarik. Sementara Hatta sibuk baca buku,
Sjahrir asik bermain dan mengajar anak-anak setempat. ”Di sini
benar-benar sebuah firdaus”, tulisnya di awal Juni 1936. Dari pulau dan
cerita inilah nama band ini diambil.